Cinta Terindah

Selasa, Desember 31, 2013

“Maukah kamu bertemu denganku dimalam tahun baru nanti?” Email tanpa subjek itu menarik perhatian. Aku melihat kembali nama si pengirim cuma tiga huruf Rio namun tiga huruf itu sudah cukup membuat jantungku berdetak sepuluh kali lebih cepat.
“Arrgggh.!!” Teriakku frustasi, jari-jariku menari-nari lebih tepatnya mencoret-coret dan memberi tanda silang di atas tulisan yang satu paragraf pun belum selesai. Aku menutup buku catatan dan menaruh pulpen ke dalamnya untuk ku lempar jauh-jauh dari pandanganku.
“Bukk!!” Buku dan pulpen tersebut kemudian jatuh di atas kasur. Sambil berguling-guling aku menghampiri kasur, yah di kamar kost yang sempit dan kecil ini memang hanya ada kasur dan sebuah meja kecil untuk menulis tidak cukup tempat tidur menampung kasur sebagai alas sehingga kasur itu hanya bisa pasrah tergeletak di atas lantai. Aku memijit-mijit kepalaku sambil bergumam “Ayo dong Danish, kamu pasti bisa!”. Aku menyemangati diriku sendiri.
Oia, kenalkan namaku Danisha, orang-orang memanggilku Sha sedangkan orangtuaku memanggilku Cha karena dulu lidahku sulit melafalkan huruf s. Aku sendiri lebih senang dipanggil Danish menurutku lebih keren lebih classy lebih enak didengar di telinga. Saat ini aku berprofesi sebagai penulis cerpen lepas banting setir setelah berkali-kali gagal melamar di berbagai perusahaan sebagai Analis. Terdengar keren bukan? Analis…Tapi bukan Analis keuangan namun sesuatu berbau kimia atau biologi.

Perjuangan untuk mendapat profesi tersebut sungguh tidak mudah mungkin sama seperti seorang dokter namun profesi tersebut masih kurang dihargai di bumi tercinta ini. Aahh.. kenapa jadi curhat begini, lebih baik aku memikirkan kembali tulisanku. Memang bisa dibilang aku seorang penulis baru, entah atas dasar keberanian apa aku melabeli diriku sendiri dengan penulis cerpen lepas, padahal selama ini cerpen-cerpen yang aku tulis tidak lebih hanya jadi tumpukan buku usang yang berakhir di tukang loak.
Beberapa kali aku pernah mencoba mengirim cerpen ke salah satu media kemudian dibalas dengan surat yang sangat sopan “Mohon maaf tulisan anda belum dapat dimuat di majalah kami karena sekian.. sekian.. dan sekian”. Intinya sih tulisanku tidak sesuai dengan tema majalah mereka. Ada yang terlalu muda, terlalu tua, tidak menjunjung harkat wanita, tidak begini, tidak begitu dan sebagainya.
Hingga suatu hari cerpenku diikutsertakan dalam buku antalogi Sepasang Sendal yang Tertukar. Wah.. senangnya sungguh tidak terkira. Teman-teman pun memberi selamat, seketika saat itu rasa percaya diriku meningkat 150 % sudah terbayang di depan mata namaku akan disejajarkan dengan Raditya Dika, Dee Lestari atau mungkin Andrea Hirata. Namun angan-angan tersebut kembali ku kubur dalam-dalam karena penjualan buku antalogi Sepasang Sendal yang Tertukar mengalami kegagalan.
Masyarakat umum tidak berminat sama sekali untuk membeli, hanya orang-orang tertentu yang membeli buku antalogi tersebut seperti keluarga, teman, pacar hingga para penulis buku antalogi sendiri yang membelinya kemudian membagi-bagikan kepada teman-teman yang lain sebagai hadiah. Yang lebih menyakitkan lagi untukku adalah aku mendengar selentingan kabar kalau sebenarnya cerpenku tidak layak untuk dimasukkan ke dalam buku antalogi tersebut. Tapi karena kebaikan hati seorang temanku maka dia memutuskan memasukkan cerpen  karyaku.
Saat itu rasanya ingin segera berhenti menulis, melabeli diri sendiri dengan cap bodoh, tidak berbakat, tidak menyadari kemampuan dan sebagainya. Untungnya perasaan seperti itu hanya sebentar dan aku kembali bangkit untuk menulis dengan kekuatan bulan, hehehe.. bercanda, maksudku semua ini adalah proses hanya butuh waktu dan usaha yang lebih keras lagi agar cerpenku layak untuk dimuat di majalah-majalah.
****
Aku kembali memijit kepala dan dahiku, seolah-olah meminta dengan sangat setidaknya ada ide brilian yang muncul dari otakku. Tanganku bergerak mengambil buku catatan, melihat outline yang telahku buat. “Andi pria dingin yang menyimpan perasaan pada Nita namun Nita sendiri menyukai Rio. Arrrghhhh.. terlalu umum!!”Ujarku kesal. Aku menaruh buku catatanku di atas muka berharap dengan posisi tersebut aku bisa memunculkan tulisan yang menarik. Aku menghela nafas panjang, sulit rasanya menulis cerita cinta yang romantis dan dramatis jika aku sendiri tidak pernah mengalami kisah cinta, mm.. lebih tepatnya tidak ada yang menarik dari kisah cintaku.
Paling lama aku menjalin sebuah hubungan  satu bulan ah, tidak-tidak dua bulan. Aku memutuskan untuk berteman karena bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak penting seperti “Kamu dimana? Sama siapa? Lagi apa? Udah makan apa belum? Makannya pake apa?” dan segudang pertanyaan yang tidak penting sampai sangat-sangat tidak penting.
Suara lembut Taylor Swift yang sedang menyanyikan lagu Safe and Sound dari Hp membuyarkan  semua ide-ide yang berusaha ku susun bercampur aduk dengan lamunanku. Tanganku meraih Hp yang tergeletak di lantai tak jauh dari kasur. Aku menatap layar Hpku, tertulis one miscall and one message. Jari jemariku menekan halus layar hp kekiri dan kekanan kemudian muncul sebuah pesan “Sha, lagi apa? Kenapa telepon aku kok ga diangkat? Hari ini kamu jadi ikutkan ngerayain tahun baruan di Taman Koleksi IPB? Pokoknya kamu harus ikut awas kalau ngga!! Dara.”
“Kalau suruh ikut ngapain juga masih nanya.” Gerutuku setelah membaca pesan dari Dara. Aku pun membalas pesan Dara. “Ok” Aku pun menscroll kembali layar Hp ku ke bawah dan tiba-tiba mataku menangkap pesan yang belum terbaca, ternyata dari Adit. Aku terdiam sesaat, ragu-ragu akan membuka pesan singkat itu atau tidak. Akhirnya aku memberanikan diri membuka pesan singkat itu. “Hi Sha, apakabar? Aku harap kamu baik-baik saja ya. Aku disini juga dalam keadaan baik. Oia, udah lama banget ya kita ngga ngobrol dan ketemuan. Nanti malam kita bisa ketemuan? Aku ingin kita bisa ngerayain pergantian tahun baru 2013 ini sama-sama.”
Seketika itu juga aku seperti membeku setelah membaca pesan dari Adit. Ok-ok aku bohong kalau aku tidak pernah mengalami kisah cinta yang menarik, yah setidaknya yang satu ini saat itu menarik untukku. Hanya saja aku tidak mau mengingat-ingat kisah cinta dengan orang ini, kalau bisa waktu diputar kembali aku tidak ingin mengenalnya tidak ingin menaruh harapan dan mimpi-mimpiku padanya. Aku hanya berharap semua kenangan yang pernah terjadi antara aku dan dia bisa ku kubur dalam-dalam serta kalau bisa tidak pernah terjadi. Aku meletakkan Hpku, memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Tanpa bisa ku tolak semua kenangan bersama Adit datang kembali. Aku ingat awal perkenalan dengannya berbeda dengan pria yang selama ini kukenal. Aku melihatnya duduk sambil membaca di Taman Koleksi IPB, Bogor.
 Suasana saat itu begitu teduh karena di Taman Koleksi dipenuhi dengan pepohonan yang rindang serta bangku dan meja taman yang terbuat dari batu, di samping taman banyak mahasiswa yang berjalan hilir-mudik menuju kampus IPB. Selain itu Bogor memang dikenal dengan kota hujan sehingga wajar saja hawanya cenderung dingin dan segar. Lalu apa menariknya jika seorang pria membaca buku? Toh semua orang saat itu mau pria atau wanita yang sedang di Taman Koleksi IPB kebanyakan memang melakukan aktifitas seperti membaca, berdiskusi dengan teman atau sedang menunggu teman.
Kalau begitu apa yang menarik dari Adit hingga aku memberanikan diri menghampirinya, duduk dimana dia duduk? Aku benar-benar tidak tahu. Entah siapa yang memulai kami pun berdiskusi tentang berbagai macam hal seolah-olah kami sudah mengenal satu sama lain. Hingga ke tiga kalinya aku pergi ke Taman Koleksi ini, duduk di kursi batu mengeluarkan buku-buku di atas meja dan menunggu kedatangan Adit untuk membahas isi dari buku-buku tersebut. Aku ingat sekali saat itu buku berjudul Negeri Lima Menara karangan A. Fuadi sedang popular sehingga aku berniat membacanya.
“Negeri Lima Menara.” Ucapan Adit menghentikanku sejenak dari kegiatan membacaku. Aku tersenyum.
“Ia ini bagus lo ceritanya. Kamu udah baca?”
“Belum, memang apa ceritanya?”
“Buku ini ceritanya tentang pengalaman A. Fuadi selama di pesantren dalam menuntut ilmu, yang hebatnya walau di pesantren dia tetap bisa melanjutkan kuliah lo. Dibuku ini juga menceritakan suka duka A. Fuadi selama di pesantren dan dari pesantren lah dia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan kuliah. Dia mendapatkan kekuatan itu dari kata-kata Man Jadda Wa Jadda, Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.”Ujarku panjang lebar. Adit hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Eh.. kaya ceramah ya?”Tanyaku malu-malu. Senyum Adit makin melebar membuat aku salah tingkah.
“Tapi, di pesantren ilmu ikhlas tuh benar-benar dipergunain banget.”Ujar Adit.
“Oia? Kamu pernah di pesantren?”
“Ngga sih, kakakku yang pernah.”Ujar Adit sambil tersenyum tipis.
“Kok kamu bisa bilang gitu, kan kamu sendiri bilang belum pernah?”Tanyaku heran.
“Ya kan kakakku cerita. Jadi waktu itu ketika dia di pesantren dan masih jadi santri baru, ustadz kakakku sering berkata belajarlah untuk ikhlas dalam hal apapun. Nah pas mau sholat magrib kebetulan kakak lagi pake sendal bagus, ditaruhlah sendal itu dengan rapi di rak sepatu. Ketika selesai sholat dan mau pulang ngga taunya sendalnya udah tertukar dengan sendal jepit. Saat itu kakak Cuma bisa istigfhar sambil ngomong mungkin ini kali ya maksudnya pak ustadz.” Mendengar cerita tersebut mau tidak mau membuat aku tertawa dia pun juga tertawa mungkin karena melihat cara tertawaku yang meriah.
Setelah pertemuan ke-tiga, ke-empat dan seterusnya, tanpa sadar aku mulai merindukan Adit. Merindukan diskusi-diskusi kami tentang buku, tentang berita, tentang politik, masa kecil kami atau hal-hal yang terjadi disekitar kami. Tidak pernah sekalipun Adit menanyakan hal-hal yang menurut ku membosankan seperti “Kamu dimana? Sama siapa? Lagi apa? Udah makan apa belum? Makannya pake apa?”. Mungkin karena hal itu aku tidak pernah bosan untuk berbicara dan berdiskusi dengannya dan tanpa sadar Adit sudah begitu saja merasuk dalam hati dan pikiran ku namun aku tidak tahu bagaimana perasaan dan pikiran Adit terhadap ku. Aku terlalu malu untuk mengutarakan apalagi untuk menanyakan sebaliknya. Saat itu aku merasa tidak lengkap jika aku tidak menceritakan peristiwa yang terjadi hari itu atau permasalahan pada Adit. Berdiskusi panjang lebar dengannya untuk menemukan solusi. Tanpa sadar aku begitu tergantung padanya.
****
“Assalammualaikum, Shaaaaaa..”Terdengar suara Dara memanggil dari luar.
Tidak lama dia pun mengetuk pintu. Aku menghentikan lamunanku, bangkit berdiri terdiam sejenak kemudian membukakan pintu. Dara langsung menghambur ke dalam dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sejak jaman kuliah hingga berkerja ketika Dara datang berkunjung ke kostanku, hal pertama yang menjadi tempat favoritnya adalah kasur.
“Lama amat, lagi ngapain sih?”
“Lagi semedi nyari inspirasi.”ucapku sekenanya sambil duduk di samping Dara.
 “Ooohh.. itu ya deadline buat cerpen fiksi. Mana-mana coba aku mau lihat.”
“Belum selesai.”Ujarku lagi.
“Tumben belum selesai, aah.. aku tau pasti temanya yang paling ngga kamu sukai ya.”
“Dah tau nanya.”Ujarku ketus.
“Kalau kamu sulit menulis tentang kisah cinta, ya udah tulis aja kisah cinta aku sama Darian. Aku mau kok jadi narasumber kamu.”Ujar Dara sambil mengedip-edipkan matanya.
“Ga mau, cerita kayak kamu tuh udah banyak. Suka-sukaan, telepon-teleponan, pacaran. Terlalu umum.”
“Iiihh.. menghina, aku ga rela dibilangin kaya gitu sama orang yang lagi jomblo.”Ujar Dara sambil mencubit lenganku namun dengan cepat aku menghindar.
“Ya udah kalau ga mau nulis kisah tentang gw, fine! Tulis aja kisah elo sama si Adit. Kisah cinta bertepuk sebelah tangan.” Tipikal Dara, jika dia marah keluarlah kata gw elo dari mulutnya.
“Ok, kalau gitu aku ga bisa nemenin kamu ke Taman Koleksi…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Dara sudah memotong dengan kata-katanya.
“Jangaaan.. Cuma bercanda kok Sha.”Ujarnya sambil mengelus-elus lenganku seolah-olah berusaha meredakan amarahku. Aku tersenyum kecil melihat kelakuan Dara
“Udahkan, ga marah kan? Jadi sekarang siap-siap ya temenin aku ke Taman Koleksi.”
“Iya-iya, aku mandi dulu ya.”
“Sip. Oia, aku pinjam hp kamu ya buat main game.”
“Iya!!”Teriakku dari balik pintu kamar mandi.
****
Sesekali aku melihat jam tanganku, pukul 20.10 butuh waktu 3 jam 50 menit untuk sampai ke pergantian tahun. Tak ada perubahan di Taman Koleksi ini masih ada bangku-bangku dan meja batu, yang bertambah hanya sebuah kafe, lampion dan lampu-lampu hias. Aku duduk di salah satu bangku berhadapan dengan bangku dan meja yang biasa aku duduki bersama Adit untuk berdiskusi tentang segala hal. Tanganku mengetuk-etuk kepalaku berusaha menghilangkan kenangan yang pernah terjadi. Ah.. kenapa aku menuruti Dara untuk tidak membawa buku atau laptopku, kalau seperti ini aku benar-benar bingung harus melakukan apa.
Aku pikir Dara memaksaku menemaninya karena Darian tidak bisa hadir menemani Dara. Tapi ternyata mereka sudah janjian untuk bertemu di tempat ini. Aku memperhatikan Dara dan Darian yang sedang bercanda dan tertawa dengan teman-teman lainnya di area luar kafe tidak jauh dari tempat ku duduk. Mereka terlihat bahagia. Ada secercah rasa iri melihat kebahagian mereka, tanpa sadar aku mengeluh kenapa cinta enggan menghampiri ku? Memangnya salah apa yang pernahku buat hingga cinta itu tidak datang menghampiri. Aku hanya ingin cinta yang sederhana bukan yang rumit dan berbelit-belit. Aku melihat Dara menghampiriku
“Sha, Ayo ikut main kembang api.”Ajak Dara.
“Kamu kan udah susah-susah datang kesini buat ngeluangin waktu, jadi kamu harus menikmatinya.” Aku tersenyum mendengar perkataan Dara.
“Iya, aku di sini dulu ya sebentar menghirup udara.”
“Jangan kelamaan di bawah pohon yang ada kamu sesak napas saingan nyari udara.” Dara mengingatkanku.
“Iya, nanti aku nyusul ke sana. Tuh Darian nyariin kamu.”Ujarku. Dara menoleh dan secepat kilat menghampiri Darian yang memang mencari Dara. Aku menghela napas panjang, tiba-tiba terpikir kembali olehku naskah tentang cinta yang akan kutulis tadi. Lebih baik aku menelepon temanku yang memberikan tawaran bahwa aku tidak sanggup untuk menyelesaikan naskah tersebut. Baru saja jari-jemariku akan menekan tombol call, sebuah suara baritone yang khas mengagetkanku.
“Sha..”
kepalaku seolah-seolah terlepas dari lehernya demi mendengar suara itu, suara yang aku benci sekaligus aku rindukan. Aku membalikkan badan ku mengikuti arah datangnya suara tersebut.
“Adit…”
“Kamu ngga berubah ya Sha.”Ujar Adit sambil tersenyum.
Aku dan Adit duduk di atas bangku batu berhadapan sama seperti dulu namun entah kenapa kali ini aku merasa tidak  nyaman akan kehadiran Adit. Ada kesunyian yang panjang diantara kami, mungkin masing-masing dari kami menunggu siapa yang akan berbicara lebih dahulu.
“Sebelumnya aku mau berterima kasih sama kamu, karena kamu udah mau balas sms aku dan mengizinkan aku datang kesini.”Ujar Adit.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya, Adit pun tersenyum melihat tatapanku. Aku mengalihkan pandanganku, tanpa sengaja aku melihat Dara tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Seketika aku menyadari siapa yang mengizinkannya datang kemari.
“Aku tidak pernah mengizinkan kamu untuk datang kesini, karena sms itu bukan dari aku.”  Mendengar kata-kataku seketika wajah Adit berubah namun dia tetap memaksakan untuk tersenyum.
“Ga masalah siapa yang mengirim sms itu, yang jelas aku bersyukur saat ini aku bisa ada di depanmu.”
“Kalau aku, aku tidak bisa mensyukuri pertemuan ini. Maaf aku pulang duluan.” “Tunggu Sha, ku antar ya.”Adit mencoba berbaik hati.
“Ga usah. Makasih.” Aku segera berlari meninggalkan Adit tanpa menghiraukan teriakan Dara yang memanggil-manggilku.
****
“Sha.. Sha.. Kamu di kamar kan? Buka pintunya dong” Ujar Dara. Aku menutup kupingku rapat-rapat dengan bantal, berpura-pura tidak mendengar panggilan Dara. “Sha.. “Kali ini Dara berteriak sambil menggedor-gedor pintu. Mau tidak mau aku bangkit membuka pintu dan langsung menuju kasur, tidak mempedulikan Dara yang sedang mengomel.
“Kok kamu gitu sih, kayak anak kecil main kabur aja. Ga sopan tau.”Omel Dara. Aku bangkit dari kasur dan menatap Dara lekat-lekat.
“Yang ga sopan itu siapa? Aku atau Kamu?”
“Ok-ok, aku akui aku ngebaca sms kamu sama Adit dan aku juga yang ngebalas sms dari Adit. Tapi itu semua demi kebaikan kamu, aku ga tega lihat teman aku, sahabat aku sedih terus-terusan apalagi ditahun baru ini.” Ujar Dara. Dia pun duduk menghampiri dan memelukku.
“Aku minta maaf ya, aku cuma benar-benar ga mau sahabat ku sedih aku cuma ingin lihat kamu bahagia Sha.”
Aku menghela napas “Iya, tapi jangan diulangin lagi ya.”
“Iya, janji deh.” Dara berusaha meyakinkanku.
“Kamu ga balik lagi ke Taman Koleksi? Acaranya pergantian tahun barunya 30 menit lagi dimulai lo.” Aku berusaha mengingatkan Dara.
“Ga papa, aku di sini aja deh nemenin kamu. Kita nonton drama korea!!”Ujar Dara ceria. “Kalau kamu nonton di sini Darian gimana?”Tanyaku
“Udah pulang pas nganterin aku ke sini. Kasian dia tadi salah makan, bandel sih ngasih sambel ke bakwannya kebanyakan, akhirnya mules-mules. Ya udah aku suruh dia pulang aja.” Aku ber-Oo ria mendengar penuturan panjang Dara. Aku melihat Dara masih sibuk memilh drama korea yang akan kami tonton. Sambil memilih Dara bertanya kepada ku. “Ngomong-ngomong.. Kamu kok tadi lari dari Adit. Memang Adit ngomong apa sampai kamu lari kayak gitu?”
“Ga ngomong apa-apa. Aku tiba-tiba mules sama kayak Darian.”Ujarku sambil tertawa. Dara menatapku tak percaya dengan alasan yang ku utarakan padanya. Aku langsung memeluknya erat-erat.
“Ya udah, ga papa kalau kamu ga mau cerita sekarang. Aku selalu siap menanti 24 jam kalau kamu udah siap cerita.”
“Kaya suami siaga aja.” Kami berdua pun tertawa. Dalam tawa aku berkata pada Dara, kenapa aku tidak pernah membalas sms Adit karena saat itu, ketika pertemuan terakhir kami tanpa sengaja aku melihat Adit bersama dengan wanita dan seorang anak bayi berumur 2 tahun. Aku bisa saja salah mengira, jika aku tidak bertanya langsung pada wanita itu ketika Adit sedang membawa bayinya kekamar mandi.
“Permisi mba, boleh saya foto?” Tanyaku berbasa-basi.
“Eh, jangan nanti suami saya marah.”Ujarnya menolak.
Aku pura-pura terkejut “Ah masa, semuda ini mba sudah bersuami? Ga kelihatan lo mba.” Aku bertanya kembali memastikan kalau Adit memang suami dari wanita itu. “Suaminya yang itu ya mba?” Aku berpura-pura menunjuk seorang pria berkemeja lengan panjang dan bercelana jeans. Wanita itu menggeleng  kemudian sambil menunjuk dia menjelaskan pada ku kalau suaminya yang menggunakan jaket hijau dan sedang menggendong bayi. Aku langsung paham dengan segera aku meninggalkan wanita itu. Mendengar penjelasan ku Dara hanya bisa memeluk ku sambil menangis.
“Hayooo… tuh kan bengong lagi.” Tegur Dara yang melihat ku terdiam kembali. Aku pun tersenyum kecil sambil menatapnya.
“Udah ga usah dipikirin si Adit itu. Aku bersyukur dia ga ngedapetin sahabat aku Danisha, sahabat paling baik sedunia.” Aku kembali memeluk Dara erat-erat
“Muji nih.. Pasti ada maunya.”
“Ga lah, Dara kalau muji orang tulus sesuai kapasitas.” Kami tertawa bersama kembali. Tiba-tiba Dara terdiam seperti teringat sesuatu
“Oia.. Mungkin kamu ga bisa buat cerita cinta karena ini kali Sha, karena kamu belum benar-benar mengalami kisah cinta yang indah.”
“Mm.. Mungkin iya, mungkin ngga. Memangnya kamu bisa nulis kisah cinta yang indah?” Tanyaku penasaran. Dara tampak berpikir lama sebelum akhirnya menjawab dengan mantap
“Engga. Aku ga akan bisa buat kisah cinta yang indah karena kisah cinta yang aku tulis pasti yang aku inginkan saja. Tapi aku yakin kisah cinta yang Tuhan tuliskan untukku pasti jauh lebih indah.”
Aku tersenyum lebar mendengar ucapannya benar-benar tidak menyangka kata-kata itu keluar dari Dara. Benar kata Dara mungkin aku tidak akan pernah bisa membuat kisah cinta yang indah karena kisah cinta yang Tuhan tuliskan untukku akan jauh lebih indah.


10 komentar:

  1. Berkunjung pertama kali, mak. Wah, ini ceritanya asik, bahasanya mengalir dan runut. Teruskan, mak. Ditunggu cerita2 selanjutnya

    BalasHapus
  2. Makasih mak Mira bisa mampir, Ia masih proses belajar nih mak eyd masih banyak yg blm tepat. Semoga kedepannya bisa lebih baik lagi

    BalasHapus
  3. bukan pengalaman pribadi kan? hanya cerpen kan? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. keliatan kaya pengalaman pribadi ya? mungkin di bawahnya harus ditulis based on true story, hehehe.. makasih ya mba sudah mampir.

      Hapus
  4. Kadang sebuah cerita lbh menarik klo disisipkan kisah nyata dari penulisnya. Tulisan anda sungguh menarik.

    BalasHapus
  5. Waahah...bagus tulisan cerpennya Yuuul....
    ditunggu cerpen berikutnya yaa...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... Ga nyangka mba debby main k blog. Sering2 ya mba

      Hapus
  6. Makasih mba, mesti banyak belajar lagi biar lebih bagus :D

    BalasHapus
  7. BTW BLOG NYA MAU DIBAWA KEMANA MBA, HARUS LEBIH SPESIFIK SEGMENNYA, KARNA SEPERTINYA SEMUA TUMPLEK BLAK ADA DI BLOG INI, HEHEHEHE....

    BalasHapus

Bagi teman - teman yang selesai membaca, terima kasih untuk komentarnya. Author, amat menghargai saran dan kritik setelah membaca blog ini. Salam ^^

Copyright © Hana No Yuri. Blog Design by SkyandStars.co